VITILLIGO

Senin, 19 Oktober 2009

Sampai saat ini belum diketahui penyebab pasti dari vitiligo. Beberapa hipotesis yang ada adalah hipotesis autoimun, neurohormonal, dan autositotoksik. tacrolimus diharapkan menjadi model utama terapi vitiligo di masa mendatang, menggeser kortikosteroid

Memiliki kulit putih merupakan idaman setiap orang. Lebih kelihatan cakep dan bersih, alasannya. Namun tidak semua kulit yang berwarna putih itu baik. Ada beberapa bagian yang tiba-tiba kulit tubuhnya menjadi putih berbentuk lingkaran yang sangat kontras dengan kulit sekitarnya yang coklat. Bercak putih itu ada di tangan dan kaki, bahkan di sekitar mata pun mulai kelihatan memutih. Tentu, kulit seperti ini bukan kulit putih yang diharapkan. Kulit putih itu ternyata abnormal yang biasa dikenal Vitiligo .

Kurangnya Zat Warna

Vitiligo, berdasarkan National Institute of Arthritis and Musculoskeletal and Skin Diseases (NIAMS), adalah penyakit kulit yang ditandai dengan adanya makula putih yang dapat meluas di beberapa bagian tubuh. Timbulnya makula putih tersebut disebabkan berkurangnya jumlah sel pembentuk pigmen (zat warna) kulit, yang dikenal dengan sel melanosit. Daerah tubuh yang bermukosa seperti mulut, hidung dan mata juga dapat mengalami penyakit ini.

Jumlah penderita penyakit kulit ini memang tidak terlalu banyak. Insidennya sekitar 0,1-8,8%. Di negeri Paman Sam, diperkirakan 2-5 juta penderita vitiligo. Penyakit ini tidak pandang bulu jadi tidak memilih ras atau jenis kelamin tertentu. Lebih kurang 50% penderita vitiligo banyak yang berusia dibawah 20 tahun.

Disinyalir Autoimun

Sampai saat ini belum diketahui penyebab pasti dari vitiligo. Beberapa hipotesis yang ada adalah hipotesis autoimun, neurohormonal, dan autositotoksik. Dari keempat hipotesis tersebut, hipotesis autoimunlah yang paling banyak diselidiki, karena faktanya, vitiligo memang banyak ditemukan berhubungan dengan penyakit autoimun, seperti alopecia areata, tiroiditis Hashimoto, penyakit Addison, anemia pernisiosa (anemia akibat defisiensi vitamin B12), gastritis atrofik, dan diabetes melitus tipe I.

Hasil penelitian yang menyokong hipotesis autoimun adalah terdeteksinya antibodi terhadap melanosit pada manusia atau hewan yang menderita vitiligo. Dikatakan, antibodi tersebut jarang terdapat pada orang yang sehat sehingga dinamakan antibodi vitiligo (vitiligo antibodies). Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa antibodi vitiligo 'menyerang' tirosinase, salah satu antigen melanosit spesifik. Namun hal tersebut dibantah oleh Xie Z dkk seperti yang dimuat dalam Archive of Dermatology 1999.

Hipotesis autoimun diperkuat lagi dengan ditemukannya infiltrasi limfosit T pada hasil biopsi kulit yang terkena. Selain itu, pada penderita vitiligo juga ditemukan peningkatan jumlah reseptor IL-2, IL-6 dan IL-8.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa vitiligo berkaitan dengan human leukocyte antigen (HLA). Jenis HLA tertentu dominan pada ras tertentu. Misalnya, HLA-DR4 lebih dominan pada orang kulit hitam, HLA-B13 pada orang Yahudi Moroccan dan HLA-B35 pada orang Yahudi Yemenite.

Hipotesis neurohormonal muncul karena keterlibatan norepinefrin (NE) dan monoamine oksidase (MAO) dalam patogenesis vitiligo. Sudah dibuktikan sebelumnya bahwa akson terminal dan melanosit di epidermis saling berhubungan melalui sinaps kimia dalam kulit manusia. Pada lesi vitiligo ditemukan terjadi peningkatan kadar katekolamin dari saraf autonom pada melanosit.

NE diketahui mempunyai efek toksik baik langsung maupun tidak langsung terhadap melanosit. Efek toksik langsung adalah NE mengganggu ambilan (uptake) kalsium pada mitokondria sehingga membentuk zat yang bersifat sitotoksik seperti radikal bebas. Efek tidak langsung adalah NE mengaktivasi reseptor α pada arteriol kulit sehingga terjadi vasokonstriksi. Keadaan hipoksia ini mengakibatkan terbentuknya radikal oksigen toksik. Selain itu, peningkatan kadar NE yang disekresikan keratinosit memicu terbentuknyua enzim MAO. Peningkatan aktivitas MAO akan memicu pembentukan hidrogen peroksidase (H2O2) yang berlebihan. Jumlah H2O2 yang berlebihan ini tidak diimbangi oleh katalase yang bertindak sebagai buffer karena pada kelainan vitiligo, jumlah katalase berkurang.

Gangguan permeabilitas pada membran melanosom pun dituding sebagai penyebab vitiligo. Tirosin, suatu derivat dari fenol, dioksidasi menjadi melanin melalui kompleks reaksi oksidatif yang disertai dengan pertukaran elektron dan molekul. Tirosin tersebut berada dan dilindungi dalam melanosom agar tidak berdifusi keluar. Akan tetapi apabila terjadi kelainan dimana permeabilitas membrane melanosom meningkat maka tirosin dapat keluar dari melanosom, akibatnya jumlah melanin yang dapat terbentuk akan berkurang.

Lokalisata dan Generalisata

Berdasarkan luas lesi, vitiligo dapat diklasifikasikan menjadi vitiligo lokalisata dan generalisata. Lokalisata dibagi lagi menjadi fokal, bila terdapat satu atau lebih makula pada satu area; segmental, bila terdapat satu atau lebih makula pada satu area dengan distribusi menurut dermatom; dan mukosal, bila lesi terdapat pada membran mukosa saja.

Sedangkan generalisata dapat dibagi menjadi akrofasial, bila lesi terjadi hanya di bagian distal ekstremitas dan muka; vulgaris, bila lesi terdapat di banyak tempat tanpa pola tertentu; dan campuran, bila lesi hampir atau sudah menyeluruh (vitiligo total).

Bedah

Terapi vitiligo meliputi terapi bedah dan non-bedah. Terapi bedah berupa autologous grafting atau kultur melanosit. Mulekar SV seperti dikutip dari Archive of Dermatology 2004 mengikuti (follow-up) pasien vitiligo tipe segmental dan fokal yang diterapi dengan teknik autologous grafting selama 5 tahun. Setelah diikuti, teknik bedah ini menunjukkan hasil yang sangat baik. Sayangnya, teknik bedah kurang dianjurkan pada anak usia di bawah 12 tahun.

Kortikosteroid

Terapi non-bedah cukup banyak jenisnya seperti kortikosteroid dan penyinaran. Terapi non-bedah memerlukan jangka waktu yang lama untuk mendapatkan hasil yang maksimal sehingga perlu menjadi perhatian bagi pasien. Kombinasi kortikosteroid dengan psoralen-ultraviolet-A (PUVA) merupakan regimen terapi yang paling banyak digunakan.

Efek samping yang timbul dari kortikosteroid adalah atrofi kulit, teleangiektasis, hipertrikosis, dan erupsi akneiformis. Adanya efek samping itulah yang menyebabkan kortikosteroid terbatas penggunaannya. Beberapa alternatif pengganti kortikosteroid seperti siklosporin, siklofosfamid, fluorourasil, levamisol, dan isoprinosin pernah dicoba namun keamanan dan keberhasilannya masih tak sesuai harapan.

Ultraviolet

Ide menggunakan terapi penyinaran sebagai salah satu terapi vitiligo muncul ketika pada kenyataannya, didapatkan repigmentasi spontan di daerah perifolikular dan pinggir dari lesi kulit vitiligo setelah terpajan sinar matahari selama musim panas. Sebagai pengganti psoralen, ultraviolet A(UVA) juga dapat digunakan bersama dengan fenilalanin (phenylalanine-UVA/PAUVA) atau khellin (khellin-UV-A/KUVA).

Perkembangan terbaru fototerapi adalah ultraviolet B (UVB) spektrum pendek dan excimer laser 308 nm. Keduanya lebih efektif daripada UVA. Di sisi lain, fototerapi juga tidak lepas dari efek samping. Biasanya berupa eritem dan peningkatan enzim hati setelah mengkonsumsi metoksipsoralen dan khellin. Bahkan, penggunaan dalam jangka panjang meningkatkan resiko kanker kulit non-melanoma.

Hartmann A dkk dalam International Journal of Dermatology 2005 mencoba menyelidiki keefektifitasan UVB spektrum pendek (311 nm) dengan UVB spektrum panjang. Penelitiannya melibatkan 9 orang pasien. Tubuh bagian atas kesembilan pasien tersebut diterapi dengan UVB 311 nm sedangkan tubuh bagian bawah dengan UVB spektrum panjang. Setelah 7-16 minggu, tampak repigmentasi pada sisi tubuh 6 pasien yang diterapi dengan UVB 311 nm. Selanjutnya, setelah 6 bulan terapi, tidak ada pasien yang menunjukkan repigmentasi pada daerah tubuh yang diterapi dengan UVB spektrum panjang. Pada akhirnya, Hartmann A dkk menyimpulkan bahwa UVB 311 nm mempunyai efek terapi yang lebih kuat daripada UVB spektrum panjang.

Hasil senada juga diungkapkan oleh Kanwar AJ dkk dalam jurnal yang sama Januari 2005. Mereka menemukan bahwa UVB spektrum pendek efektif dalam menimbulkan repigmentasi pada 14 pasien yang terlibat dalam penelitiannya.

Di lain pihak, penelitian di Korea Selatan oleh Hong SB ddk melakukan perbandingan antara UVB 311 nm dengan xenon-chloride excimer laser 308 nm. Penelitian yang dipublikasikan dalam Journal Korean of Medical Science 2005 itu mendapatkan xenon-chloride excimer laser 308 nm lebih cepat menimbulkan repigmentasi daripada UVB 311 nm.

Tacrolimus, A New Hope

Terapi medikamentosa terbaru yang sedang dikembangkan adalah dengan menggunakan zat immunomodulator golongan makrolida yaitu tacrolimus dan pimecrolimus. Pemakaiannya dapat dilakukan secara topikal atau oral. Beberapa penelitian skala kecil telah berhasil mengungkapkan keefektifitasan zat immunomodulator ini. Tacrolimus memberi hasil yang baik pada daerah wajah dan leher daripada bagian tubuh yang lain. Penelitian skala besar dan jangka panjang perlu dilakukan untuk melihat keefektifitasannya secara bermakna.

Tacrolimus merupakan hasil fermentasi dari Streptomyces tsukubaensis dan diisolasi pertama kali pada tahun 1984. Tacrolimus bekerja dengan menghambat transkripsi gen pembentuk sitokin pada limfosit T

Peristiwa yang terjadi saat antigen bertemu dengan limfosit T adalah sebagai berikut. Suatu antigen yang berikatan dengan reseptor limfosit T akan menyebabkan peningkatan Ca2+ intraselular. Ca2+ berikatan dengan calmodulin dan mengaktivasi calcineurin fosfatase. Calcineurin yang teraktivasi ini akan mendefosforilasi NF-AT (nuclear factor of activated T cells). Hanya NF-AT yang sudah terdefosforilasi yang dapat berpindah dari sitosol ke dalam inti. Di dalam inti, NF-AT akan berikatan dengan bagian promoter dari gen pembentuk sitokin (IL-2, IL-3, IL-4, granulocyte-macrophage colony stimulating factor, TNF-α) sehingga terjadilah proses transkripsi.

Lalu bagaimana kerja tacrolimus? Tacrolimus akan berpenetrasi ke dalam membran limfosit T dan berikatan dengan reseptor intraselular, FK-BP(FK-binding proteins). Kompleks yang terbentuk dari kedua zat tersebut akan menghambat aktivasi calcineurin fosfatase sehingga proses transkripsi tidak berjalan dan sitokin tidak dihasilkan.

Selain efek sebagai imunosupresi, tacrolimus juga diketahui menghambat pelepasan histamin melalui mekanisme anti-IgE.

Pada awalnya, tacrolimus digunakan untuk mencegah reaksi penolakan allograft pada transplantasi ginjal, hati, dan jantung. Lambat laun, tacrolimus diketahui juga mempunyai efek terapi pada asma berat dan penyakit Crohn. Belakangan ini, potensi tacrolimus sebagai imunosupresan banyak digunakan pada terapi penyakit yang melibatkan sistem imun seperti psoriasi, dermatitis atopi dan alopecia areata.

Kehadiran tacrolimus mungkin akan menggeser 'kejayaan' kortikosteroid di masa yang akan datang. Setidaknya hal itu tercermin dalam studi yang dilakukan oleh Lepe V dkk dalam Archive of Dermatology 2003. Studi yang berdesain acak buta ganda ini membandingkan keamanan dan keefektifitasan antara tacrolimus 0,1% dengan klobetasol 0,05% pada 20 anak-anak vitiligo selama 2 bulan. Dari penelitian tersebut, kedua obat topikal yang digunakan mempunyai keefektifitasan yang hampir sama namun berbeda dari segi keamanan (efek samping) pemakaiannya. Pada lesi kulit yang diolesi klobetasol, 3 anak mengalami atrofi kulit dan 2 anak teleangiektasis; sedangkan dengan tacrolimus, hanya 2 anak yang mengalami efek samping berupa sensasi terbakar. Hal itu dikarenakan tacrolimus tidak mengganggu sintesis kolagen dan proliferasi keratinosit, dimana hal sebaliknya justru terjadi pada kortikosteroid.

Keunggulan tacrolimus juga ditunjukkan dengan kemampuannya berkombinasi dengan regimen terapi yang lain, contohnya penyinaran. Passeron T dkk dalam Archive of Dermatology 2004 menemukan kombinasi yang sinergik antara tacrolimus topikal dengan excimer laser 308 nm. Penelitian tersebut membandingkan keefektifitasan antara kombinasi tacrolimus topikal dan excimer laser 308 nm dengan excimer laser 308 nm monoterapi. Hasilnya, repigmentasi yang terjadi pada excimer laser 308 nm monoterapi lebih kurang dibandingkan dengan terapi kombinasi. Penelitian ini juga mendapatkan bahwa dosis salep tacrolimus 0,1% yang dioleskan pada lesi 2x/hari ditambah dengan frekuensi penyinaran 308 nm excimer laser 2x/minggu memberikan hasil yang sangat baik pada daerah kulit yang sensitif maupun resisten terhadap UV. Daerah yang dianggap sensitif terhadap UV adalah wajah, leher, tungkai atas dan tungkai bawah.

http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news_print.asp?IDNews=8

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Kritik dan Saran yahh :)